
Sejarah Masuknya Islam Ditanah Bone
Tanah Bugis, Dalam mewujudkan supremasi kekuasaan di wilayah Sulawesi Selatan, kerajaan Bone dan Gowa dalam banyak kesempatan seringkali berseberangan. Pertimbangan politik tampaknya menjadi alasan mengapa hal itu terjadi. Ketika kerajaan Gowa mengajak para penguasa di tanah Bugis untuk menerima Islam
Dalam mewujudkan supremasi kekuasaan di wilayah Sulawesi Selatan, kerajaan Bone dan Gowa dalam banyak kesempatan seringkali berseberangan. Pertimbangan politik tampaknya menjadi alasan mengapa hal itu terjadi. Ketika kerajaan Gowa mengajak para penguasa di tanah Bugis untuk menerima Islam menjadi agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di mata orang Bone hal itu dilihat sebagai upaya untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam banyak hal mewarnai tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.
Setelah kerajaan Sidenreng, Soppeng dan Wajo menerima Islam, Raja Bone X digantikan oleh La Tenriruwa sebagai raja Bone XI. Mengetahui ada pergantian raja di Kerajaan Bone maka Sultan Alauddin (Raja Gowa) bersama pasukannya bergerak menuju Bone untuk bertemu dengan raja Bone yang baru. Kunjungan ini bertujuan untuk mengajak Raja La Tenriruwa dan rakyatnya untuk memeluk Islam. Ajakan Sultan Gowa ini nampaknya secara pribadi dapat diterima dengan baik namun mendapat tantangan oleh para Ade’ pitu. (sejarah Islam di Sulawesi Selatan)
Menurut A. Zainal Abidin, penolakan atas Islam sebagai agama kerajaan pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Mereka sukar meninggalkan kegemarannya makan babi, minum tuak, sabung ayam dan judi, beristri banyak, dan lain-lain.
2. Mereka khawatir akan dijajah kembali oleh Gowa. Mereka masih teringet akan perang yang dilancarkan oleh Raja-raja Gowa dahulu seperti I Manrigau Daeng Banto Tunipallangga Ulaweng dan I Tajibarani Daeng Marompa Tunibatta pada abad XVI.
Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bonemendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.
Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).
Islam mengisi sesuatu dari aspek cultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri’ yang begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.
menjadi agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di mata orang Bone hal itu dilihat sebagai upaya untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam banyak hal mewarnai tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.
Setelah kerajaan Sidenreng, Soppeng dan Wajo menerima Islam, Raja Bone X digantikan oleh La Tenriruwa sebagai raja Bone XI. Mengetahui ada pergantian raja di Kerajaan Bone maka Sultan Alauddin (Raja Gowa) bersama pasukannya bergerak menuju Bone untuk bertemu dengan raja Bone yang baru. Kunjungan ini bertujuan untuk mengajak Raja La Tenriruwa dan rakyatnya untuk memeluk Islam. Ajakan Sultan Gowa ini nampaknya secara pribadi dapat diterima dengan baik namun mendapat tantangan oleh para Ade’ pitu. (sejarah Islam di Sulawesi Selatan)
Menurut A. Zainal Abidin, penolakan atas Islam sebagai agama kerajaan pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Mereka sukar meninggalkan kegemarannya makan babi, minum tuak, sabung ayam dan judi, beristri banyak, dan lain-lain.
2. Mereka khawatir akan dijajah kembali oleh Gowa. Mereka masih teringet akan perang yang dilancarkan oleh Raja-raja Gowa dahulu seperti I Manrigau Daeng Banto Tunipallangga Ulaweng dan I Tajibarani Daeng Marompa Tunibatta pada abad XVI.
Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bonemendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.
Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).
Islam mengisi sesuatu dari aspek cultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri’ yang begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.
Sumber : http://bugis.lumak.net/
Posting Komentar